Dr. Sihol Siagian
Dewan Pertimbangan Ketum PRSBB
Publikasi terbaru Badan Pusat Statistik (BPS) tentang Profil Suku dan Keragaman Bahasa Daerah Long Form Sensus Penduduk 2020 sangat menarik. Survey BPS tersebut memaparkan suku Batak menyumbang jumlah lulusan sarjana terbanyak di Indonesia dengan persentase 18,02% kemudian disusul suku Minangkabau dengan 18,00%. Suku terbesar di Indonesia, suku Jawa berada di urutan kedelapan dengan persentase 9,56% dan terakhir suku Madura 4,15%.
Tidak ada warisan yang lebih berharga bagi orang Batak selain pendidikan. Tidak ada pula yang lebih membanggakan orang tua Batak selain melihat anak meraih pendidikan tertinggi. Filosofi Batak “Anakkon hi do hamoraon di ahu” yang berarti “Anakku adalah kekayaanku” merupakan cerminan dari tekad mendalam para orang tua untuk melihat anak-anak mereka sukses lewat jalur pendidikan.
Semangat menanamkan pendidikan pada anak muncul dari akar sejarah yang panjang pendidikan di Keresidenan Tapanuli. Sejarah itu dimulai pada akhir 1800-an.
Pada 1870-an, Missionaris Zending (misi pekabaran Injil saat kolonial Belanda) memperkenalkan pendidikan di Tapanuli melalui Sekolah Minggu. Missionaris Zending mengembangkannya dengan mendirikan Sekolah Dasar yang menjadi bagian gereja Batak di Tapanuli Bagian Utara.
Pada awal tahun 1900-an telah berdiri ratusan Sekolah Dasar di bawah Zending dan Gereja dengan jumlah murid mencapai ribuan orang seiring bertambahnya penduduk masa itu. Hingga tahun 1930 sebelum Indonesia merdeka, alumni dan siswa sekolah mencapai puluhan ribu orang.
Pada awal 1890-an, sekolah anak raja pernah berdiri di Narumonda. Lulusan sekolah ini menjadi mantri/staf di berbagai kantor pemerintahan. Ada yang menjadi Asisten Demang bahkan naik pangkat menjadi Demang, jabatan paling tinggi yang dipercayakan kepada putra daerah. Lulusan sekolah ini juga banyak yang menjadi jaksa dan hakim.
Keberhasilan anak-anak Batak yang kembali ke kampung halaman dengan prestasi gemilang membuat orang tua semakin bersemangat menyekolahkan anak-anak mereka setinggi mungkin. Mereka rela bekerja keras di ladang dan bahkan melarang anak-anak mereka ikut bertani demi memberi waktu lebih untuk belajar.
Kemudian berlanjut hadirnya pendidikan formal di Kresidenan Tapanuli pada tahun 1910 dan pada 1911 berdiri Hollandsch-Inlandsche School (HIS) di Sigompulon Tarutung oleh Belanda. Pendirian HIS melahirkan ribuan alumni yang bekerja diberbagai bidang seperti guru, pegawai administrasi pemerintahan dan menyebar ke berbagai daerah.
Melihat antusiasnya orang tua menyekolahkan anaknya, kolonial Belanda mendirikan lagi HIS di Narumonda kemudian Sibolga disusul di Kotanopan, Kabupaten Mandailing Natal. Pada 1927, pemerintah kolonial Belanda kembali mendirikan sekolah MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs) di Tarutung. Ini adalah Sekolah Menengah Pertama yang ada pada zaman pemerintah kolonial. MULO banyak melahirkan tokoh-tokoh Batak hebat, antara lain pahlawan nasional Letnan Jenderal T.B. Simatupang, yang terkenal sebagai tokoh pemikir militer Indonesia.
Tahun 1925 menjadi momen penting dengan berdirinya Meisjesschool Balige, sekolah guru guru di Tapanuli Utara dengan masa pendidikan enam tahun, dari kelas tujuh hingga delapan belas. Sekolah ini berdiri di Balige, menjadi pusat pendidikan bagi wilayah Toba, Humbang Hasundutan, dan Samosir.
Setelah Indonesia merdeka tahun 1945, pemerintah Republik Indonesia mendirikan beragam jenjang sekolah, yakni SMP, SMEP, SMA, SMEA, STM, SMOA, sampai Akademi Pertanian termasuk SMA Swasta seperti SMA Katolik Bintang Timur Balige.
Minat sekolah terus menggelora. Mayoritas anak-anak Batak mulai melanjutkan pendidikan lebih tinggi, ke universitas di Medan, Jakarta, Yogyakarta, Bandung, dan kota-kota besar lainnya. Mereka dikenal sebagai anak perantau yang ulet dan pekerja keras, berjuang dengan tekad kuat untuk menyelesaikan studi mereka.
Kegigihan orang Batak menekuni pendidikan mencerminkan bahwa pendidikan bukan sekadar alat untuk mendapatkan pekerjaan, melainkan modal utama untuk menghadapi kehidupan dan kemandirian. Keberhasilan anak ini adalah tentang harga diri keluarga, bukan hanya bagi keluarga inti bahkan sampai keluarga besar.
“Anakkon hi do hamoraon di ahu” falsafah yang tertanam kuat dalam jiwa orang Batak dan menjadi komitmen yang diwariskan dari generasi ke generasi.